YOGYAKARTA, Wawasannews.com – Program Studi Magister Ilmu Lingkungan, Sekolah Pascasarjana Universitas Gadjah Mada (UGM), menggelar Bedah Buku “Konservasi Tanah dan Air dalam Perspektif Hukum dan Kebijakan” pada Senin, 17 November 2025.
Acara yang berlangsung di Auditorium lantai 5 ini menghadirkan diskusi ilmiah mendalam mengenai tantangan pengelolaan tanah dan air di Indonesia.
Buku karya Prof. Dr. Ir. Zulkarnain, MS, Guru Besar Universitas Mulawarman dan pengurus pusat Himpunan Ilmu Tanah Indonesia, menyajikan sembilan bab yang membahas konsep konservasi, perspektif hukum dan kebijakan, hingga persoalan perubahan fungsi lahan.
Buku ini dinilai menjadi rujukan penting bagi akademisi dan pemangku kebijakan.
Acara ini diikuti 116 peserta luring serta 46 peserta daring.
Suasana diskusi berlangsung hangat berkat paparan penulis, tanggapan para pembahas, dan pertanyaan peserta yang memperkaya sudut pandang.
Dalam presentasinya, Prof. Zulkarnain menegaskan bahwa konservasi tanah dan air memiliki spektrum permasalahan jauh lebih luas daripada yang sering dipahami.
“Ilmu Konservasi Tanah dan Air bukan sekadar belajar erosi dan longsor. Ia menjadi obyek penderita dari ketidakpastian hukum dan tumpang tindih kebijakan yang terjadi di berbagai era,” ungkapnya.
Ia juga mengkritisi ketidakseimbangan kompensasi pemanfaatan kawasan hutan yang dialihkan untuk pertambangan.
“Dana jaminan reklamasi masih terlalu kecil dibandingkan kerusakan yang ditimbulkan. Di Kalimantan Timur, ada banyak kasus deposit jaminan reklamasi yang minim, bahkan ditinggal begitu saja tanpa proses pemulihan,” katanya.
Menurutnya, lemahnya pengawasan juga memperburuk kondisi.
“Penegakan hukum dari kementerian maupun pemerintah daerah masih sangat kurang. Pengawasan rutin pun banyak yang tidak berjalan,” lanjutnya.
Di sisi lain, para pembahas menguraikan persoalan dari berbagai perspektif, mulai dari pedogenesis, geospasial, hukum, hingga peran masyarakat.
Mereka menilai bahwa persoalan konservasi tanah dan air tidak hanya terhambat oleh faktor teknis, tetapi juga oleh lemahnya koordinasi dan kerangka kebijakan.
Beberapa poin yang mengemuka antara lain, perubahan fungsi lahan sering terjadi karena data geospasial tidak dijadikan dasar keputusan, kerangka regulasi konservasi masih tumpang tindih, membuat implementasi kebijakan sulit berjalan optimal dan konservasi tidak akan berhasil tanpa melibatkan komunitas lokal yang paham kondisi tanah dan air di wilayahnya.
Selain itu, mereka menyoroti kurangnya harmonisasi antar kementerian/lembaga, sehingga konservasi sering terkesan hanya menjadi kepentingan satu instansi saja.
Diskusi ini menghasilkan kesimpulan bahwa ancaman kerusakan lahan semakin kompleks dan membutuhkan langkah bersama dari para ahli dan pemangku kebijakan.
“Bahaya kerusakan tanah dan air begitu besar tanpa ada usaha memperbaiki, kerusakan yang terjadi terlindungi oleh kebijakan, oleh karena itu kita perlu mencermati kebijakan-kebijakan yang bertentangan dengan teori konservasi tanah dan air serta kebijakan-kebijakan yang bertentangan dengan Undang-Undang dan amanat konstitusi (UUD 1945),” ujar Prof. Zulkarnain dalam penutupannya.
Ia menekankan perlunya forum para pakar yang mampu mencermati setiap produk hukum dan mengawal implementasinya.
“Regulasi yang berpotensi menimbulkan degradasi tanah dan air harus ditinjau ulang. Kita butuh gerakan kolektif dan komitmen yang berkelanjutan,” tegasnya.
Dalam diskusi, muncul pula usulan pembentukan Dewan Guru Besar untuk Penyelamatan Tanah dan Air, sebagai wadah konsolidasi pemikiran dan rekomendasi konkrit bagi pemerintah.(Red)







Komentar