KENDAL, Wawasannews.com – Arif Setiawan, tokoh pemuda sekaligus Sekretaris Desa Tunggulsari, Kecamatan Brangsong, Kabupaten Kendal, merilis sebuah buku yang mengangkat kembali kisah perjuangan Panji Witono, seorang pahlawan Nusantara yang jejak hidupnya berakhir di Dusun Welang, Tunggulsari.
Buku tersebut diberi judul “Jejak Panji Witono Welang: Kisah Sebuah Perjuangan Panji-panji Nusantara 1749–1805”.
Arif menjelaskan, penulisan buku ini berangkat dari kegelisahannya melihat minimnya pengetahuan generasi muda tentang tokoh lokal yang memiliki peran besar dalam sejarah perjuangan melawan kolonial.
“Buku ini saya tulis agar generasi muda tidak tabu akan siapa Raden Pitono atau Panji Witono,” kata Arif.
Buku itu, katanya, disusun berdasarkan berbagai referensi sejarah, salah satunya Babad Carita Lasem karya Panji Khamzah (1825).
Arif berharap, karyanya dapat menjadi jembatan bagi generasi muda untuk mengenal sejarah sekaligus meneruskan nilai perjuangan para leluhur.
“Harapannya lewat buku ini, anak-anak muda bisa melawan lupa, melek sejarah, serta menjunjung toleransi dan kebhinekaan,” tuturnya.
Dalam buku tersebut, Arif menjelaskan bahwa Panji Witono lahir pada 1749 sebagai putra dari Raden Mas Panji Margono, seorang tokoh penting keturunan trah Panji Lasem yang gugur dalam Perang Kuning melawan VOC pada 1750.
Panji Margono dikenal luas dengan nama samaran Tan Pan Ciang atau Encik Macan di dalam Babad Tanah Jawi.
Ia berjuang bersama Raden Ngabehi Widyadiningrat (Oei Ing Kiat) dan Tan Kee Wie.
Ketiganya dikenang dalam Kelenteng Gie Yong Bio yang dibangun warga Tionghoa Lasem pada 1780.
Sebelum wafat, Panji Margono sempat berpesan agar istrinya mengungsikan bayi mereka, Panji Witono, ke Dukuh Narukan, Dorokandang.
Setelah dewasa, Panji Witono melanjutkan perlawanan ayahnya.
Ia dikenal menentang keras penindasan VOC, termasuk menghabisi antek-antek Belanda yang menguasai tambak udang di Rembang.
Dalam pelariannya dari Rembang melalui jalur laut, Panji Witono sampai di Bandengan, Kendal, lalu bergerak ke selatan menuju wilayah yang saat itu masih berupa hutan belantara.
Sebuah kawasan yang kini dikenal sebagai Desa Tunggulsari.
Ia menetap hingga akhir hayatnya dan dimakamkan di Dusun Welang.
Panji Witono sendiri memiliki tiga anak. Di antaranya yakni, Panji Khamzah, Kamsih dan Panji Kamboro, yang kemudian turut bertempur dalam Perang Diponegoro (1835–1850).
Kini, makam Panji Witono di Dusun Welang telah ditetapkan sebagai cagar budaya oleh Disdikbud Kendal bersama Balai Pelestarian Cagar Budaya Jawa Tengah.
Penetapan ini semakin menguatkan nilai historis kawasan tersebut serta mempertegas pentingnya pelestarian kisah perjuangan tokoh lokal.
Lewat buku ini, Arif Setiawan berharap Tunggulsari tidak hanya dikenal sebagai desa yang tenang, tetapi juga sebagai salah satu titik penting jejak perjuangan Nusantara.
“Ini warisan sejarah yang harus dijaga dan diceritakan kembali,” tandasnya.(Red)







Komentar