Jakarta, Wawasannews.com – Dosen Sosiologi Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (Unusia), Muhammad Nurun Najib, menilai pemerintah menunjukkan keseriusan dalam memperkuat ketahanan energi nasional sekaligus membangun fondasi transisi menuju energi bersih. Hal itu disampaikan Nurun dalam keterangannya, dilansir dari ANTARA, Senin.
Nurun menjelaskan bahwa Indonesia saat ini berada pada fase penting pembangunan energi. Dalam dua tahun terakhir, akses listrik terus meluas hingga ke daerah-daerah pelosok. Pada 2024, sebanyak 155 ribu rumah tangga memperoleh sambungan baru melalui program Bantuan Pasang Baru Listrik (BPBL), dan jumlah itu diproyeksikan meningkat menjadi 215 ribu rumah tangga pada 2025.
Selain itu, melalui program Listrik Desa (Lisdes) 2025–2029, pemerintah menargetkan pembangunan jaringan listrik di lebih dari 10 ribu lokasi dengan sasaran 1,28 juta pelanggan baru. Di kawasan timur Indonesia—seperti Maluku, Papua, dan Nusa Tenggara—kehadiran listrik disebut mulai memberikan dampak nyata bagi aktivitas ekonomi warga, terutama dalam mendukung penerangan dan penyimpanan hasil tangkapan nelayan melalui cold storage tanpa harus bergantung pada pasokan es dari kota.
Menurut Nurun, proyek-proyek elektrifikasi tersebut berperan penting dalam mengurangi ketimpangan sekaligus mewujudkan pemerataan akses energi sebagai kebutuhan dasar masyarakat. Ia juga menyoroti sejumlah proyek energi besar yang tengah digarap pemerintah, salah satunya PLTA Jatigede di Sumedang, Jawa Barat, yang diresmikan bersamaan dengan 26 proyek lainnya, termasuk 55 pembangkit energi panas bumi dan tenaga surya di 15 provinsi.
“Keseluruhan capaian ini menunjukkan keseriusan negara memperkuat ketahanan energi sekaligus menyiapkan langkah menuju energi bersih,” ujar Nurun.
Dorongan Demokrasi Energi
Nurun mendorong penerapan demokrasi energi di Indonesia melalui penguatan energi berbasis komunitas, seperti koperasi listrik desa dan BUMDes energi. Menurutnya, transisi energi tidak hanya diukur dari jumlah daya yang dihasilkan, tetapi juga dari siapa yang memperoleh manfaat serta siapa yang mengendalikan sumber energinya.
Ia menilai, ketika energi dikelola secara inklusif, manfaat ekonomi dari proyek energi tidak berhenti pada lingkaran elite atau korporasi besar, melainkan berputar di tingkat lokal—memperkuat ekonomi masyarakat desa dan menciptakan lapangan kerja.
Namun, keberhasilan demokrasi energi bergantung pada keterlibatan masyarakat dalam merumuskan kebijakan. Ia menegaskan bahwa pembangunan energi idealnya tidak hanya berfokus pada penyediaan infrastruktur, melainkan juga menata ulang hubungan antara negara, pasar, dan warga.
Tantangan Pembangunan Energi
Meski mengalami kemajuan signifikan, Nurun mengungkap dua tantangan utama yang dihadapi Indonesia dalam pembangunan energi.
Pertama, pendekatan teknokratik yang memandang persoalan energi semata sebagai urusan infrastruktur, sehingga partisipasi publik masih terbatas.
Kedua, minimnya inovasi sosial yang mampu menghubungkan infrastruktur energi dengan kebutuhan riil masyarakat.
Ia menilai, solusi yang dapat ditempuh adalah memperkuat kapasitas komunitas lokal, menciptakan model kepemilikan bersama, serta mendorong koperasi dan BUMDes energi untuk mengelola sumber daya di wilayah masing-masing.
Menurut Nurun, rasio elektrifikasi yang hampir sempurna serta tumbuhnya proyek energi baru menunjukkan kemampuan negara memperluas akses daya hingga ke pelosok. Namun, pembangunan energi akan kehilangan makna jika tidak disertai pemerataan manfaat dan pelibatan masyarakat dalam pengambilan keputusan.
“Demokratisasi energi bisa menjadi kunci agar pembangunan tidak lagi terpusat,” ujarnya.
Ia menegaskan, arah baru kebijakan energi harus memberi ruang bagi warga sebagai pemilik dan pengambil keputusan, bukan hanya sebagai pengguna. Dengan begitu, kemajuan energi dapat berjalan seiring dengan keadilan sosial, sehingga cahaya yang kini menerangi seluruh negeri benar-benar menjadi simbol kemandirian bersama. (Antara/
Wwn)







Komentar