Di banyak organisasi masyarakat di Indonesia—baik berbasis agama, sosial, maupun kepemudaan—keputusan penting sering kali tidak lahir dari diskusi anggota. Rapat panjang dengan berlembar-lembar kajian dapat selesai hanya melalui satu kalimat pendek dari seorang patron yang tidak selalu tercatat dalam struktur resmi.
“Begini saja, biar cepat.”
Di banyak tempat, inilah pola lama yang terus hidup di tubuh ormas.
ADVERTISEMENT
.SCROLL TO RESUME CONTENT
Rumah Besar yang Berdiri di Atas Figur Patron
Secara formal, ormas di Indonesia tampak modern. Ada struktur yang lengkap, aturan internal, hingga program kerja rutin. Namun dalam praktik, banyak organisasi justru berdiri di atas fondasi rapuh: ketergantungan pada satu tokoh yang memberi akses, pendanaan, atau legitimasi politik.
Ketika patron hadir, roda organisasi berputar. Ketika patron menjauh, aktivitas mulai terhenti. Rapat berkurang, program mengecil, dan agenda publik meredup.
Sebagian pengurus bahkan meyakini bahwa tanpa patron, organisasi akan kehilangan energi untuk hidup.
Jabatan sebagai Komoditas Balas Budi
Dalam sejumlah ormas di pusat maupun daerah, jabatan kerap diberikan sebagai bentuk balas budi, bukan berdasarkan kompetensi. Mereka yang aktif mengurus agenda patron lebih cepat naik daripada mereka yang mengurus program organisasi.
Akibatnya, kultur meritokrasi sulit tumbuh.
Kritik dianggap pembangkangan.
Data dianggap menghambat keputusan.
Gagasan baru dicurigai sebagai ancaman.
Organisasi pun perlahan berubah menjadi panggung simbolik: tampak besar, tetapi tidak kuat di dalam.
Fenomena yang Sedang Ramai di Publik
Beberapa tahun terakhir, publik semakin peka terhadap dinamika internal ormas di Indonesia. Di tingkat nasional, polemik kepengurusan ormas besar—termasuk organisasi keagamaan tertua di negeri ini—menjadi sorotan ketika kepentingan ekonomi dan jaringan politik bersinggungan dengan keputusan struktural. Di daerah, kasus serupa muncul dalam skala yang lebih kecil: konflik kepengurusan, perebutan pengaruh, hingga ormas yang terseret ke dalam ranah politik praktis.
Polanya serupa:
patron menggerakkan organisasi, bukan sistem yang bekerja.
Keterlibatan tokoh kuat atau elite politik kerap menggeser arah ormas dari kepentingan publik menjadi kepentingan jaringan tertentu. Hal ini memperlihatkan bahwa ormas—yang seharusnya menjadi ruang pembinaan warga—justru semakin rentan menjadi perpanjangan tangan kekuatan politik.
Pertanyaan Dasar: Bisakah Ormas Berdiri Tanpa Patron?
Pertanyaan paling penting untuk banyak ormas hari ini adalah:
Apakah organisasi ini tetap berjalan ketika patron tidak lagi mendukung?
Sayangnya, banyak organisasi belum memiliki fondasi yang mandiri. Kelemahan itu tampak pada:
pendanaan yang bergantung pada satu sumber,
kaderisasi yang tidak terencana,
promosi jabatan tanpa standar,
evaluasi program yang tidak berjalan,
regenerasi yang ditentukan oleh kedekatan, bukan kapasitas.
Tanpa perbaikan struktural, ormas mudah terseret kepentingan luar dan kehilangan mandat sosialnya.
Tiga Langkah untuk Menguatkan Ormas
Untuk membangun ormas yang lebih dewasa dan tahan terhadap pengaruh patron, beberapa langkah berikut penting diterapkan:
Membangun pendanaan yang independen dan terukur
Keragaman sumber dana membuat organisasi tidak dikendalikan oleh satu figur.Menegakkan promosi berbasis kinerja
Jabatan strategis harus diberikan pada kader yang benar-benar bekerja.Menghidupkan evaluasi dan regenerasi yang transparan
Mekanisme organisasi harus berjalan apa adanya, bukan apa maunya patron.
Langkah-langkah ini tidak mudah, tetapi menjadi fondasi penting untuk masa depan ormas.
Ormas yang Dewasa Hidup dari Sistem, Bukan dari Patron
Ormas merupakan bagian penting dari ekosistem sosial Indonesia. Agar dapat menjalankan peran tersebut dengan baik, organisasi harus berdiri di atas sistem yang kuat, bukan sepenuhnya bergantung pada figur pusat.
Ketika patron menjadi motor utama, organisasi mungkin tampak bergerak cepat. Namun tanpa sistem yang mandiri, ormas mudah goyah dan terjebak dalam siklus politik balas budi yang berkepanjangan.
Masa depan organisasi masyarakat di Indonesia akan lebih terjamin jika ia bisa berdiri tidak karena kekuatan patron, tetapi karena kokohnya struktur dan integritas internalnya. (Robert)

















