KENDAL, Wawasannews.com – Rencana diberlakukannya kembali kegiatan belajar mengajar (KBM) enam hari sekolah di Jawa Tengah mendapat dukungan dari Ketua DPRD Kendal. Ia menilai kebijakan tersebut menjawab berbagai persoalan yang muncul selama penerapan lima hari sekolah, terutama di jenjang pendidikan dasar dan menengah.
Menurut Ketua DPRD Kendal, keputusan mengembalikan pola belajar enam hari bukan sekadar perubahan jadwal, tetapi upaya menyesuaikan pendidikan dengan kondisi riil siswa dan sekolah di lapangan. Setidaknya terdapat tujuh alasan yang menurutnya mendukung penerapan kembali KBM enam hari.
Pertama, aspek psikologis siswa. Anak usia SD dan SMP memiliki keterbatasan daya serap setelah pukul 13.00. Mengutip kajian psikologi, Ketua DPRD menjelaskan bahwa pada jam-jam tersebut kemampuan konsentrasi siswa hanya sekitar 60 persen. “Kalau belajar dipaksakan hingga pukul 15.00, materi pelajaran tidak bisa terserap maksimal,” ujarnya, Selasa (25/11/2025).
ADVERTISEMENT
.SCROLL TO RESUME CONTENT
Kedua, aspek sarana dan prasarana. Banyak sekolah di Jawa Tengah belum memiliki musala, masjid, maupun fasilitas wudu yang memadai untuk seluruh siswa dan guru. Kondisi ini membuat pelaksanaan ibadah zuhur berjamaah menjadi tidak optimal meski sudah dilakukan bergantian. Kekurangan sarpras tersebut dinilai menjadi kendala yang terus berulang selama lima hari sekolah diterapkan.
Ketiga, aspek keamanan. Pulangnya siswa pada waktu yang bersamaan dengan buruh atau pekerja membuat transportasi umum lebih padat. Beberapa daerah bahkan melaporkan siswa yang sampai pulang menjelang malam. “Situasi ini rawan bullying, kerawanan sosial, maupun potensi kriminalitas di perjalanan,” ujarnya.
Keempat, aspek pengembangan kompetensi nonakademik. Penerapan lima hari sekolah dinilai mengurangi ruang gerak siswa untuk mengembangkan bakat olahraga, seni, dan keterampilan lainnya. Waktu bermain dan interaksi sosial anak dengan lingkungan rumah juga ikut berkurang.
Kelima, aspek geografis. Sekolah-sekolah di pegunungan dan pedesaan masih kesulitan akses transportasi. Kondisi ini paling berdampak pada anak perempuan yang harus menempuh perjalanan lebih jauh ketika pulang sore.
Keenam, aspek mental spiritual. Jawa Tengah memiliki lebih dari 10 ribu madrasah diniyah dan puluhan ribu TPQ, dengan 60 persen siswa adalah anak SD dan SMP. Lembaga-lembaga pendidikan keagamaan tersebut biasanya mulai belajar pukul 14.00. “Selama lima hari sekolah diberlakukan, banyak anak tidak bisa mengikuti kegiatan madrasah maupun TPQ,” katanya.
Ketujuh, aspek ketahanan keluarga. Di banyak daerah, anak dari keluarga kurang mampu biasanya membantu orang tua sepulang sekolah—mulai dari menjaga adik, ikut ke sawah, berdagang, hingga membantu pekerjaan rumah. Jadwal pulang yang terlalu sore membuat peran sosial anak di rumah terganggu.
Ketua DPRD Kendal menegaskan bahwa dukungan terhadap KBM enam hari bukanlah bentuk penolakan terhadap inovasi pendidikan, tetapi penyesuaian berdasarkan kondisi riil di masyarakat. Ia berharap kebijakan baru yang disusun Pemerintah Provinsi Jawa Tengah nantinya mempertimbangkan masukan dari daerah agar pelaksanaannya berjalan efektif.
“Intinya, kebijakan pendidikan harus berpihak pada kebutuhan anak, kemampuan sekolah, serta realitas sosial di masyarakat,” katanya.
Ia juga mengajak pemerintah daerah dan pemangku kepentingan lain untuk bersama-sama memastikan implementasi hari sekolah enam hari berjalan tertib dan tidak menambah beban bagi siswa maupun guru. (fuad)










