Advertisement
Headline Nasional Opini Politik
Home » Berita » Demokrasi Kita Ditawan Ketakutan

Demokrasi Kita Ditawan Ketakutan

Negara lebih sibuk membungkam suara ketimbang memperbaiki diri.

Oleh: Iqbal Alaik

Dalam negara demokratis, suara rakyat seharusnya menjadi nadi kekuasaan. Namun yang terjadi kini justru sebaliknya: negara memilih menutup telinga dan membalas kritik dengan ketakutan. Alih-alih memperbaiki diri, kekuasaan malah memandang suara rakyat sebagai ancaman. Fenomena ini menandai hadirnya civil phobia ketakutan negara terhadap ekspresi masyarakat sipil yang kian mempersempit ruang demokrasi kita.

Ketika Negara Menganggap Kritik Sebagai Ancaman

Sepanjang 2024, Amnesty International mencatat 527 kasus pelanggaran terhadap kebebasan berekspresi, melibatkan 560 warga. Mayoritas kasus tersebut memanfaatkan pasal-pasal karet dalam UU ITE yang problematik. Di saat yang sama, laporan SAFEnet dan Setara Institute menyoroti peningkatan intervensi aparat dalam diskusi publik dan ruang akademik.

Kasus di Universitas Gadjah Mada (UGM) pada 2024, ketika diskusi tentang Papua dibubarkan aparat, adalah preseden buruk. Situasi serupa terjadi di UIN Walisongo Semarang pada April 2025. Dua orang, salah satunya berseragam TNI, mendatangi diskusi bertema “Fasisme Mengancam Kampus” dan meminta data pribadi peserta. Tindakan ini jelas tidak mencerminkan prinsip-prinsip kebebasan akademik yang dijamin undang-undang.

Polisi tetapkan 6 orang kelompok anarko sebagai tersangka dalam aksi mayday rusuh di Semarang

Sementara itu, kriminalisasi terhadap pembela lingkungan juga menunjukkan sisi gelap relasi negara-rakyat. LBH mencatat setidaknya 33 serangan terhadap aktivis lingkungan sepanjang 2024. Sebanyak 23 petani dan aktivis dikriminalisasi karena berselisih dengan korporasi, menunjukkan pola represi yang bukan hanya vertikal (negara terhadap warga), tetapi juga kolaboratif antara aparat dan kepentingan modal.

Otoritarianisme dalam Demokrasi

Reaksi keras terhadap kritik bukan hanya soal keberpihakan, tapi juga soal ketakutan yang sistemik. Negara seperti menolak keragaman pandangan dan justru membangun homogenitas wacana melalui represi.

George Orwell dalam 1984 menulis, “The further a society drifts from the truth, the more it will hate those who speak it.” Kalimat ini sangat relevan ketika suara kritis dianggap subversif, bukan sebagai cermin kegagalan kebijakan. Negara bukannya memperbaiki diri, justru membungkam mereka yang menunjukkan cacatnya.

Sepanjang 2024 hingga kuartal pertama 2025, Aliansi Jurnalis Independen mencatat lebih dari 80 kasus kekerasan terhadap jurnalis, termasuk teror terhadap wartawan Tempo yang dikirimi kepala babi dan tikus. Ini memperlihatkan pola ancaman sistematis terhadap pers sebagai pilar demokrasi.

Polres Kendal Ungkap Kasus Pencabulan di Gambilangu Kaliwungu

Jalan Keluar: Revisi Regulasi dan Supremasi Sipil

Langkah awal yang harus diambil negara adalah merevisi regulasi yang menyuburkan represi, termasuk UU ITE dan perluasan fungsi aparat dalam kehidupan sipil. Revisi UU TNI pada Maret 2025 yang memungkinkan militer aktif menduduki jabatan sipil patut dikritisi. Ini adalah kemunduran dari prinsip civil supremacy dan menghidupkan kembali bayang-bayang dwifungsi ABRI di era reformasi.

Negara juga perlu menjamin ruang akademik yang bebas dari intervensi aparat. Kampus harus kembali menjadi ruang dialog, bukan tempat yang diawasi.

Peran Sipil: Dari Resistensi ke Advokasi

Di sisi lain, masyarakat sipil juga harus memperkuat kapasitas organisasional dan advokasinya. Edukasi publik soal hak-hak sipil, pendampingan hukum terhadap korban represi, hingga konsolidasi gerakan sosial perlu diperkuat.

AKBP Hendry Susanto Resmi Jabat Kapolres Kendal

Lebih jauh lagi, literasi digital dan kebebasan informasi harus menjadi alat perjuangan, bukan sekadar ruang keluh kesah. Media sosial, jika digunakan strategis, bisa menjadi ruang kampanye yang efektif untuk mendorong reformasi kebijakan.

Demokrasi Butuh Telinga, Bukan Tangan Besi

Selama ketakutan menjadi fondasi kekuasaan, maka demokrasi akan semakin menjauh dari rakyat. Negara tidak akan pernah bisa mengklaim demokratis jika tak mampu mendengar. Karena pada akhirnya, demokrasi yang sehat hanya bisa tumbuh dalam ruang yang terbuka di mana rakyat tak hanya dianggap suara lima tahunan, tetapi mitra kritis yang didengar setiap hari.

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

error: Content is protected !!
× Advertisement
× Advertisement