Jakarta, Wawasannews.com – Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Yahya Cholil Staquf (Gus Yahya) mengundang puluhan alim ulama ke Gedung PBNU, Jakarta, Ahad (23/11/2025). Pertemuan yang dihadiri sekitar 60 kiai dari berbagai daerah itu digelar sebagai ruang klarifikasi dan musyawarah setelah beredarnya risalah Rapat Harian Syuriah PBNU yang berisi usulan agar Gus Yahya mundur dari jabatan Ketua Umum.
Katib Aam PBNU KH Said Asrori menjelaskan, para kiai yang hadir menyepakati beberapa poin penting sebagai masukan untuk kepemimpinan PBNU saat ini. Salah satu kesepakatan utama adalah komitmen untuk menjaga keberlanjutan kepengurusan hingga akhir masa jabatan yang tersisa sekitar satu tahun lagi.
“Para ulama sepakat bahwa kepengurusan PBNU harus berjalan sampai akhir masa jabatan. Tidak ada pemakzulan, tidak ada pengunduran diri, baik Rais Aam, Ketua Umum, maupun jajaran pengurus lainnya. Kepengurusan harus sempurna sampai Muktamar yang akan datang,” tegas Kiai Said dalam keterangan kepada media.
ADVERTISEMENT
.SCROLL TO RESUME CONTENT
Ia menambahkan, para kiai melihat bahwa polemik internal yang muncul belakangan ini perlu dijadikan momentum untuk memperkuat tradisi musyawarah, bukan untuk saling menjatuhkan. Karena itu, forum di PBNU sepakat mendorong digelarnya silaturahim yang lebih besar dengan melibatkan lebih banyak ulama, terutama para kiai sepuh, sebagai rujukan moral dan keilmuan dalam tubuh NU.
Menurut Kiai Said, para ulama mengakui adanya persoalan yang perlu dibahas secara jernih, tetapi mereka sepakat penyelesaiannya harus ditempuh dengan cara-cara yang baik, teduh, dan sesuai mekanisme organisasi. Ia mengajak seluruh pengurus dan warga NU untuk memperbanyak tafakur serta memohon pertolongan Allah demi kebaikan bersama, baik bagi jamaah NU maupun untuk Indonesia.
Ia juga mengingatkan bahwa dalam sistem organisasi NU, perubahan kepemimpinan yang bersifat mendasar hanya dapat dilakukan melalui Muktamar sebagai forum tertinggi yang diatur jelas dalam Anggaran Dasar, Anggaran Rumah Tangga, dan peraturan perkumpulan. Hal ini menegaskan pentingnya kepastian hukum organisasi dan tata kelola yang berlandaskan konstitusi jam’iyah.
Dalam kesempatan yang sama, Gus Yahya menekankan pentingnya disiplin organisasi dalam setiap bentuk komunikasi dan pernyataan publik terkait NU. Menurutnya, statemen atau sikap apa pun, baik lisan maupun tertulis, harus diukur dengan aturan dan regulasi resmi yang berlaku dalam sistem konstitusi organisasi.
“Semua bentuk komunikasi terkait organisasi harus tunduk pada regulasi resmi NU. Artikulasi apa pun perlu dilihat kesesuaiannya dengan aturan yang menjadi rujukan kita bersama,” ujarnya.
Sebagai tindak lanjut, para ulama yang hadir menyepakati rencana menggelar pertemuan yang lebih besar dengan menghadirkan para sesepuh dan kiai sepuh NU. Pertemuan tersebut direncanakan berlangsung di Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri, salah satu pesantren besar yang memiliki kedekatan historis dengan NU dan dikenal sebagai pusat pendidikan keagamaan berbasis salafiyah.
Lirboyo selama ini menjadi rujukan banyak kiai dan santri di seluruh Indonesia, sehingga dipandang tepat menjadi tempat islah dan rekonsiliasi, sekaligus memperkuat kembali nilai-nilai tasamuh (toleran), tawazun (seimbang), dan tawasuth (moderat) yang menjadi ciri khas NU.
Sebelumnya, publik sempat dikejutkan dengan beredarnya risalah Rapat Harian Syuriah PBNU yang disebut berlangsung di salah satu hotel di Jakarta, dan memuat desakan agar Gus Yahya mengundurkan diri atau diberhentikan dari jabatan Ketua Umum. Dokumen tersebut dikabarkan ditandatangani Rais Aam PBNU, KH Miftachul Akhyar, dan beredar luas di berbagai kanal informasi.
Gus Yahya sendiri merupakan Ketua Umum PBNU hasil Muktamar ke-34 NU di Lampung untuk masa khidmat 2021–2026, dan dikenal aktif mendorong transformasi organisasi serta penguatan peran NU di tingkat nasional maupun internasional.
Dengan adanya forum silaturahim para ulama di Jakarta dan rencana pertemuan lanjutan di Lirboyo, para kiai berharap dinamika internal yang muncul dapat menjadi pelajaran berharga sekaligus jalan untuk memperkokoh persatuan NU. Fokusnya bukan sekadar meredakan polemik, tetapi menata ulang komunikasi, memperjelas mekanisme organisasi, dan menjaga marwah jam’iyah agar tetap menjadi teladan dalam menyikapi perbedaan pandangan di tengah masyarakat.

















