Advertisement
Opini
Beranda » Post » Opini » Refleksi Hari Santri 2025: Di Tengah Bising Dunia Maya, Santri Tetap Menjaga Cahaya

Refleksi Hari Santri 2025: Di Tengah Bising Dunia Maya, Santri Tetap Menjaga Cahaya

Oleh: Kurniawan Mohammad – Wasekum PP IPNU

Ada yang lebih penting dari sekadar mengenang Hari Santri: merenungkan makna menjadi santri hari ini.
Sebab santri bukanlah gelar yang berhenti di pesantren, melainkan cara hidup, cara berpikir, dan cara berjuang.
Santri adalah kesadaran spiritual yang tidak lekang oleh waktu – yang terus menyesuaikan diri dengan zaman tanpa kehilangan arah kiblatnya.

1. Santri dan Arus Bising Dunia

Hari Santri tahun ini datang di tengah riuhnya dunia digital.
Media sosial dipenuhi narasi yang menyinggung pesantren dan santri — dari kasus Pondok Al-Khoziny hingga dugaan penghinaan lembaga pesantren oleh salah satu program televisi nasional.
Semua itu menandakan satu hal: di tengah derasnya arus informasi, masih banyak yang gagal memahami apa arti pesantren dan siapa sejatinya santri.

Padahal, dari rahim pesantrenlah lahir generasi yang tidak hanya cerdas secara intelektual, tapi juga kokoh secara moral.
Pesantren adalah ruang di mana ilmu dan adab tumbuh berdampingan; tempat di mana kemerdekaan berpikir bertemu dengan ketundukan spiritual.

2. Dari Resolusi Jihad ke Revolusi Nalar

Sejarah mencatat bahwa santri bukan sekadar penikmat ilmu, melainkan pejuang kemerdekaan.
Pada 22 Oktober 1945, KH. Hasyim Asy’ari bersama para ulama NU mengeluarkan Resolusi Jihad, menyerukan kewajiban membela tanah air dari penjajah.
Dari seruan itu, kobaran semangat menyala di Surabaya dan meledak menjadi Pertempuran 10 November 1945.

Refleksi 80 Tahun Kemerdekaan Indonesia: Kepemimpinan Prabowo Subianto dan Tantangan Menuju Indonesia Emas 2045

Namun hari ini, medan jihad sudah berubah.
Santri tidak lagi berhadapan dengan kolonialisme bersenjata, melainkan penjajahan wacana dan arus kebodohan digital.
Jika dulu santri mengangkat bambu runcing, maka hari ini santri mengangkat pena, literasi, dan integritas moral untuk mempertahankan kebenaran di tengah kabut informasi.

3. Santri: Antara Tradisi dan Inovasi

Menjadi santri hari ini berarti menjaga keseimbangan antara tradisi dan inovasi.
Santri harus tetap membaca kitab kuning, tapi juga harus mampu membaca realitas sosial.
Santri harus hafal nadzam, tapi juga peka terhadap kode moral bangsa.
Sebab pesantren sejati bukanlah yang menolak zaman, tapi yang mampu menaklukkan zaman dengan nilai-nilai ilahiah.

Santri bukan hanya mereka yang tinggal di pondok, tapi juga mereka yang berguru pada ulama dengan sanad yang jelas, menapaki jalan ilmu dengan adab dan kesungguhan.
Mereka bisa ada di madrasah, kampus, atau ruang digital – asalkan ilmunya bersambung kepada cahaya kebenaran.

4. IPNU dan Amanah Santri Muda

Dalam tubuh Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (IPNU) mengalir darah santri muda Indonesia.
Organisasi yang lahir pada 24 Februari 1954 di Semarang ini menjadi wadah kaderisasi pelajar santri untuk menjaga keseimbangan antara agama, ilmu, dan kebangsaan.

IPNU bukan sekadar organisasi pelajar, tapi gerakan kebangsaan berbasis nilai pesantren.
Dari sinilah santri muda belajar menjadi pemimpin – bukan hanya pandai berbicara, tapi juga mampu mendengar dan memahami zaman.
Tugas santri muda IPNU hari ini bukan hanya menjaga warisan, tapi meneruskan dengan kreativitas dan keberanian.

Demokrasi Kita Ditawan Ketakutan

5. Menyalakan Cahaya, Bukan Membalas Bising

Saat media sosial penuh kebisingan, santri tidak perlu membalas dengan amarah.
Cukup menyalakan cahaya, sebab cahaya tidak pernah berdebat dengan gelap – ia hanya terus bersinar.
Menjadi santri berarti menghadirkan ketenangan di tengah kegaduhan, hikmah di tengah kebingungan, dan doa di tengah krisis kepercayaan publik.

6. Penutup: Santri untuk Indonesia yang Beradab

Menjadi santri hari ini berarti terus belajar tanpa henti, berguru tanpa sombong, dan berjuang tanpa pamrih.
Santri adalah penjaga nilai, penafsir zaman, dan penerus cita-cita kemerdekaan.
Karena bangsa ini tidak hanya butuh manusia cerdas, tapi juga manusia beradab.

Dan di tengah hiruk-pikuk dunia digital yang mudah membakar emosi, santri tetap memilih menyalakan pelita – kecil tapi pasti menerangi.


Selamat Hari Santri 22 Oktober 2025.
Dari pesantren, madrasah, dan rumah-rumah ilmu,
cahaya santri tetap hidup – menuntun Indonesia menuju peradaban yang beradab.

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

× Advertisement
× Advertisement