Pati – Pagi ini, Rabu (13/8), sebuah keranda mayat berdiri angkuh di depan Kantor Bupati Pati. Di bawah langit mendung, keranda itu menjadi saksi bisu kemarahan warga yang merasa dikhianati pemimpinnya. Bukan jenazah yang dibaringkan di dalamnya, melainkan simbol matinya nurani dan keadilan di bumi Pati.
Sejak pukul 07.30 WIB, arus massa terus mengalir ke Alun-alun Pati. Wajah-wajah penuh amarah, tangan menggenggam poster dan spanduk bernada ultimatum: “Bupati Pati Sudewo Mundur Secara Kesatria atau Dilengserkan Rakyat Secara Paksa”. Sebuah truk tronton terparkir di sisi jalan, siap menjadi panggung suara rakyat.
Di sekitar keranda, teriakan-teriakan protes menggema, menembus pagar besi kantor bupati. Dari balik pagar itu, barisan polisi bersenjata lengkap berdiri kaku, mata mereka tak lepas dari kerumunan.
Teguh Istiyanto, Koordinator Donasi Masyarakat Pati Bersatu, menuturkan bahwa keranda yang dibawa warga bukan sekadar atribut aksi. “Keranda ini simbol matinya harapan rakyat. Kebijakan Sudewo telah memukul banyak orang. Guru honorer kehilangan pekerjaan akibat lima hari sekolah dan regrouping. Karyawan lama rumah sakit dipecat tanpa pesangon, lalu direkrut orang baru. Ini bukan sekadar salah urus, ini pengkhianatan,” tegasnya.
Teguh memperkirakan 100 ribu massa akan memenuhi pusat kota. “Kami tidak akan pulang sebelum tuntutan ini dijawab,” katanya, disambut sorak dukungan dari kerumunan.
Keranda mayat itu tetap terbaring di tengah kerumunan, menjadi tanda bahwa bagi rakyat, masa kepemimpinan Sudewo sudah ‘dikubur’ hari ini.
Komentar